My Blog

Mencerahkan dan Menginspirasi

Tari Tayub Sragen
Wisata

Merawat Eksistensi Tari Tayub Agar Semakin Mendunia

SRAGENDi tengah derasnya arus modernisasi, Kabupaten Sragen masih menyimpan satu tradisi kuno yang terus bertahan, yakni Tari Tayub.

Tarian ini bukan sekadar pertunjukan seni, tetapi merupakan cerminan kekayaan budaya, nilai-nilai sosial, dan spiritualitas masyarakat Sragen, khususnya wilayah utara Bengawan Solo.

Dalam setiap gerakan gemulai penari perempuan atau yang biasa dipanggil ledhek, begitu pula dengan iringan musik gamelan mengalun lewat denting gong, kenong, dan saron mengajak penonton larut dalam perjalanan batin yang mendalam.

Pada perayaan Hari Jadi ke-279 Kabupaten Sragen ini, Pemerintah Kabupaten Sragen mengangkat Tari Tayub sebagai salah satu hiburan rangkaian Festival Seni Budaya di Desa Ngepringan, Kecamatan Jenar, Kamis (8/5/2025) malam.

Tayub merupakan salah satu potensi seni tari yang berasal dari Kecamatan Jenar, dengan diangkatnya Tayub pada rangkaian Hari Jadi tahun ini itu diharapkan masyarakat Sragen bisa mengenal dan mempunyai rasa handarbeni tentang potensi yang ada dimiliki Bumi Sukowati.

Camat Jenar, David Supriyadi mengatakan kesenian Tari Tayub memang sudah melekat di hati orang Jawa Tengah. Kesenian ini juga disebut tayuban. Biasanya pertunjukan tari tayub digelar saat orang menggelar pesta, hal itu dilakukan sebagai wujud rasa syukur. 

“Seringnya di wilayah utara Sungai Bengawan Solo, pentas tayub biasa digelar sebagai ungkapan rasa syukur. Biasanya tayuban setelah panen atau saat pesta pernikahan,” jelas David.

Tayub khas Sragenan dengan tayub dari daerah lain, lanjut David ada beberapa perbedaannya, Tayub di Sragen cuma ada lima penari pria. Satu penari yang menerima sampur (selendang) namanya kunjer. Empat penari lainnya namanya lareh. Kalau di daerah lain yang menerima sampur ada banyak, penarinya juga banyak.

Ternyata sebuah sampur yang diberikan kepada kunjer itu memiliki makna filosofis. Seorang kunjur jalannya harus lurus ke depan dan tidak boleh menengok ke kanan dan kekiri.

“Jadi menunjukkan makna hanggayuh kasampurnaning dumadi yang berarti meraih kesempurnaanhidup. Dua dari empat lareh berada di belakang kunjer, sementara dua lareh lainnya berada di belakang waranggono atau ledhek,” lanjut David.

Empat lareh itu merupakan simbol empat perkara yang harus bisa dikendalikan manusia. Mereka adalah angkara murka, amarah, rasa iri dengki dan nafsu birahi. Kalau empat perkara itu bisa dikendalikan, maka seseorang akan bisa meraih kesempurnaan hidup.

Sedangkan Waranggono atau ledhek sendiri berasal dari istilah leledo atau bebedo yang berarti godaan. Seorang ledhek memiliki tugas untuk menggoda seorang pria guna menguji kuat tidaknya imannya dengan tarian dan tembang.

Bupati Sragen, Sigit Pamungkas berharap semua kalangan memiliki tanggungjawab yang sama untuk melestarikan tarian ini.

“Semoga Tayub ini dapat mendunia dan tetap lestari sehingga generasi mendatang dapat merasakan indahnya warisan budaya dari Kecamatan Jenar ini,” harap Bupati saat menghadiri Festival Seni Budaya di Desa Ngepringan, Kecamatan Jenar bersama Wakil Bupati, Suroto dan jajarannya.

Dalam momen itu pula tampak Wakil Bupati Sragen, Suroto juga turut menyanyikan beberapa lagu campursari dan menari bersama para ledhek. []