SRAGEN-Sebanyak 150 siswa dan guru dari 17 sekolah yang ada di kawasan Situs Manusia Purba Sangiran belajar tentang arkeologi bersama para pakar arkeolog.
Kegiatan yang dikemas dalam Sangiran Smart Culture itu berlangsung di Dukuh Bojong dan Grogol, Desa Manyarejo, Kecamatan Plupuh, Selasa (25/7/2023).
Antusiasme terpancar di wajah siswa siswa saat Dr. Mirza Ansyori, M.Sc mulai membuka kegiatan belajar mengenal anatomi dan tafonomi binatang.
Para siswa dan guru itu diharapkan menjadi penjaga dan pelestari wilayah Situs Manusia Purba Sangiran. Mereka belajar banyak hal tentang seluk beluk arkeologi dan mempraktikannya, seperti memahami tafonomi, anatomi, casting pembuatan replika fosil, knapping, survei, ekskavasi, hingga belajar teknik berburu pada zaman purba.
Kegiatan yang diinisiasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Sragen ini dalam rangka mendukung kurikulum merdeka dan menjadi bagian dari Sragen Smart City.
Kabid Kebudayaan Disdikbud Sragen, Johny Adhi Aryawan, mengungkapkan Sangiran Smart Culture ini merupakan terobosan baru dari Disdikbud untuk inovasi pembelajaran tentang kesejarahan dan cagar budaya. Selain itu, juga mendukung Kurikulum Merdeka sekaligus bagian dari smart city. Kedepan kegiatan ini juga berlanjut ke sekolah-sekolah lainnya.
“Untuk awal ini diikuti siswa dan guru dari 17 sekolah yang ada di Kawasan Situs Manusia Purba, yakni di empat kecamatan yang meliputi Kecamatan Kalijambe, Plupuh, Gemolong, dan Miri,” katanya.
Johny menjelaskan Sangiran Smart Culture ini juga memberi pemahaman tentang nilai-nilai kehidupan masa lampau dengan metode interaktif.
Dirinya berharap generasi muda, khususnya pelajar, bisa memahami potensi lokal di sekitarnya sehingga tidak kehilangan jati diri di tengah pengaruh global. Kegiatan tersebut mengambil tema Andai Aku Seorang Arkeolog.
Subkoordinator Cagar Budaya dan Koleksi Museum Disdikbud Sragen, Andjarwati Sri Sayekti, mengatakan ada komunitas masyarakat dari Jogja dan daerah lainnya yang ikut bergabung dalam kegiatan ini.
Dari kegiatan ini diharapkan muncul jejaring antara siswa, guru, pemerintah daerah, dan pihak Musuem Cagar Budaya Sangiran, bersama masyarakat, khususnya di Dukuh Bojong dan Grogol, Desa Manyarejo, Plupuh.
“Anggota jejaring itu nanti bisa mendekatkan museum kepada anak-anak sekolah, sekaligus mereka menjadi penjaga dan pelestari wilayah Situs Sangiran. Ketika mereka bermain menemukan fosil maka mereka bisa memahami bagaimana mendokumentasikan, mendata, menyelamatkan, dan harus lapor kepada siapa. Siswa bisa lapor ke guru. Guru bisa menyampaikan ke dinas atau ke museum terdekat. Mereka juga berani berkomunikasi dengan pihak Museum Cagar Budaya secara interaktif,” katanya.
Andjarwati menerangkan siswa dan guru itu mendapat pemahaman tentang Sangiran yang dilindungi hukum sehingga apapun yang ditemukan berupa cagar budaya segera disampaikan kepada pihak berwenang. Karena Cagar budaya merupakan aset milik negara dan ditangani institusi berwenang.
Dalam pembelajaran itu, Ada enam materi pelajaran yang disampaikan.
Pertama, belajar memahami tafonomi atau bagaimana seekor binatang bisa terendapkan dan menjadi fosil, prosesnya seperti apa, dan kenapa mati atau punah. Mereka juga belajar anatomi binatang dengan memahami struktur tulang binatang purba sebagai referensi ketika menemukan fosil tulang.
Kedua, mereka berlajar casting, membuat replikas fosil atau artefak. Ketiga, belajar knapping yakni teknik pembuatan alat bantu dan teknologi, teknik, dan bahan yang digunakan manusia purba.
Keempat, mereka belajar survei permukaan, yakni mengenal alat-alat yang digunakan saat survey, teknik dokumentasi, dan seterusnya. Materi kelima tentang ekskavasi fosil, yakni teknik menggali secara sistematis dan pengelolaan temuan. Terakhir, peserta diberikan materi soal teknik berburu zaman dulu. Mereka diberi tombak dan mempraktikan sendiri teknik berburu gajah. []